Selasa, 06 Maret 2018

Melawan kapitalis dengan gaharu,

Gambar terkait

Perluasan kebun kelapa sawit dengan mengambil alih tanah masyarakat di pedalaman Kalimantan Barat semakin marak. Fenomena itu merupakan bentuk pemiskinan kepada petani pemilik lahan. ”Saya menyerahkan tanah sembilan hektar kepada perusahaan perkebunan, tapi hanya dua hektar yang kembali dalam bentuk kebun kelapa sawit, ditambah dengan utang yang kira-kira sekarang nilainya Rp 40 juta,” kata Petrus Sues (50), warga Kampung Nala, Desa Embala, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.



Sues menyerahkan lahannya tahun 1985 karena termakan bujuk-rayu perusahaan. Ketika itu, nilai utangnya untuk membiayai perkebunan kelapa sawit seluas dua hektar sebesar Rp 4,7 juta atau sekarang setara dengan Rp 40 juta. ”Perusahaan memberi janji manis mengenai pupuk dan obat-obatan gratis, tapi bohong di tengah jalan. Saya sangat menyesal telah kehilangan tujuh hektar tanah,” ungkap Sues. Sues tidak sendirian. Di Desanya ada puluhan orang mengalami hal serupa.

 Sekarang, dengan lima anak, Sues mengaku mulai kesulitan memenuhi kebutuhan mereka. ”Sekarang saja sudah pas-pasan, apalagi generasi setelah saya,” kata Sues. Ketua Kelompok Tani Karunia Jaya Mandiri (KJM) Kecamatan Parindu, Muhammad Nuh, mengatakan, sistem kapitalis di sektor perkebunan itu mulai mendapat perlawanan sejak tahun 2003. ”Kami memulainya dengan membudidayakan pohon penghasil gubal gaharu yang ditumpangsarikan dengan karet atau kelapa sawit sehingga tanah tak perlu diserahkan ke perusahaan,” kata Nuh. Para pengusaha perkebunan akan menguasai tanah itu selama satu masa hak guna usaha (HGU) yang berumur 30 tahun dan dapat memperpanjang izinnya selama 30 tahun berikutnya. ”Sistem pengambilalihan tanah masyarakat masih akan terus berlanjut seiring dengan target pemerintah mewujudkan 1,5 juta hektar kebun kelapa sawit di Kalimantan Barat sehingga harus dihentikan,” kata Mudorus, anggota kelompok tani KJM. Sejak tahun 2003, Nuh dan para anggota kelompok tani yang kini sudah berjumlah lebih dari 200 orang dan tersebar di berbagai kabupaten di Kalbar dan beberapa provinsi lain mulai membudidayakan tanaman penghasil gubal gaharu. Sues adalah salah satunya. ”Saya juga mulai mencoba budidaya gaharu di tanah yang saya beli sedikit demi sedikit,” jelas Sues. Tahun ini, tercatat sudah ada 143 hektar kebun pohon Aquilaria Sp penghasil gubal gaharu milik para anggota kelompok tani KJM yang dibudidayakan menggunakan model tumpang sari dengan karet atau kelapa sawit. Perlawanan Selain menjadi bentuk perlawanan, budidaya pohon penghasil gubal gaharu juga bertujuan untuk konservasi. Nilai ekonomisnya yang sangat tinggi membuat tanaman tersebut paling diburu di hutan alam sehingga populasinya mulai langka. Di pasaran lokal Indonesia, harga gubal gaharu mencapai Rp 2 juta hingga Rp 6 juta per kilogram. Satu pohon berdiameter 20 sentimeter dengan ketinggian kurang lebih dua meter yang umumnya berumur delapan tahun bisa menghasilkan tiga kilogram gubal gaharu. Di lahan milik kelompok tani KJM, satu hektar lahan bisa ditanami sekitar 700 batang pohon penghasil gubal gaharu dengan tumpang sari. Satu hektar tanaman utama karet pada umur empat tahun akan menghasilkan sedikitnya 20 kilogram getah karet per hari dengan harga Rp 20.000 per kilogram. Pada umur lima tahun, pohon penghasil gubal gaharu disuntik hormon yang akan membentuk gubal di tengah kayu. Gubal akan terbentuk setelah tiga tahun kemudian. Satu pohon menghasilkan rata-rata tiga kilogram gubal gaharu sehingga petani akan mendapatkan penghasilan Rp 4,2 miliar hingga Rp 12,6 miliar dalam delapan tahun. Gubal gaharu sejak sekitar 2.000 tahun lalu dipakai untuk acara ritual keagamaan dan aroma terapi. Sekarang, gaharu dari Indonesia menjadi incaran importir di Singapura, China, Thailand, Korea Selatan, Arab Saudi, dan Jepang. Kebutuhan gaharu dunia sebesar 4.000 ton per tahun baru bisa dipenuhi sekitar 50 persen. Perluasan Kepala Dinas Perkebunan Kalbar Hiarsolih Buchori mengatakan, tahun ini luas areal perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 750.948 hektar dengan produksi 921.560 ton minyak kelapa sawit mentah per tahun. ”Pemerintah pusat mendorong industri perkebunan di Kalbar karena potensinya sangat besar,” kata Hiarsolih. Perluasan perkebunan kelapa sawit di Kalbar juga mendapat sorotan karena menggunakan sistem ambil alih lahan yang oleh berbagai pihak dinilai tidak manusiawi dan merugikan pemilik lahan. Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan, dalam 10 tahun terakhir, sedikitnya 300.000 hektar lahan milik masyarakat diserobot dan diambil alih oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. (Agustinus Handoko) Saya juga mulai mencoba budidaya gaharu di tanah yang saya beli sedikit demi sedikit.Petrus Sues

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Melawan Kapitalis dengan Gaharu", https://regional.kompas.com/read/2011/10/06/04224032/melawan.kapitalis.dengan.gaharu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar