EVALUASI BEBERAPA JENIS PRODUK INOKULAN GAHARU DI KALIMANTAN SELATAN
The Evaluation
of Agarwood Inoculant Products in South Kalimantan
Safinah Surya Hakim1, Beny Rahmanto1, Fajar Lestari1, dan Wawan Halwany1 1Balai Penelitan dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Banjarbaru, Jl. Ahmad
Yani Km 28,7 Guntung Manggis,
Banjarbaru Kalimantan Selatan
70721
ABSTRACT. The availability of natural
agarwood tends to decrease and encourage some parties to cultivate agarwood
producing plants by using biological inoculation method that is microbe.
In relation to this, many manufacturers produce inoculant products
used to inoculate agarwood trees. This research
is aimed to get
some agarwood inoculant products in South Kalimantan. The inoculant products
used in this study were obtained based on information from agarwood farmers in South Kalimantan. Based on observation result, inokulan products have varied form ie liquid,
capsule, and stick. In addition,
these products do not fullfil
the packaging standards such as the absence of date of manufacture,
trade license, and expiry date. The result of
identification of dominant
microbes inokulan product
design showed some products formed from microbial species that function in agarwood formation
that have not been studied
even at risk of endangering human health. The results
of this study are expected
to be an input for farmers to be more careful in choosing the right inoculantproducts and become a
driver for producers to improve the quality of inoculants produced.sls
Keyword: inoculants;
fungi; agarwood; quality; south kalimantan
ABSTRAK. Ketersediaan gubal gaharu alam semakin menurun,
mendorong beberapa
pihak untuk membudidayakan tanaman
penghasil gaharu dengan menggunakan metode inokulasi
biologis yaitu mikroba. Sehubungan dengan
hal tersebut, banyak produsen
membuat produk inokulan
yang digunakan untuk menginokulasi pohon gaharu. Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan beberapa produk inokulan gaharu yang
ada di Kalimantan
Selatan. Produk-produk inokulan yang digunakan
pada studi ini diperoleh berdasarkan informasi petani gaharu di Kalimantan Selatan.
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui produk-produk inokulan memiliki bentuk bervariasi yakni cair, kapsul, dan stik.
Selain itu, produk-produk tersebut belum memenuhi
standar kemasan antara lain tidak
adanya informasi tanggal
pembuatan, ijn dagang, dan tanggal kadaluarsa. Hasil identifikasi mikroba
dominan penyusun produk inokulan menunjukkan beberapa produk terbentuk dari jenis-jenis mikroba
yang fungsinya dalam pembentukan gaharu belum banyak dipelajari bahkan beresiko membahayakan kesehatan
manusia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
bagi petani untuk lebih teliti dalam memilih produk inokulan yang tepat serta menjadi pendorong bagi produsen
untuk meningkatkan mutu inokulan yang diproduksi.
Kata kunci : inokulan; cendawan;
gaharu; kualitas; Kalimantan Selatan
158
PENDAHULUAN
Gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai
tinggi. Gaharu dimanfaatkan sebagai bahan baku parfum, kosmetik, serta sebagai bahan untuk ritual keagamaan. Kalimantan Selatan merupakan salah satu provinsi
yang berperan penting dalam perdagangan gaharu di
Indonesia. Catatan perdagangan gaharu pada awal tahun 1900 menunjukkan bahwa dua kota di Kalimantan Selatan yakni Kotabaru dan Banjarmasin menjadi salah satu pemasok gaharu penting di Indonesia (Soehartono & Newton,
2002). Tercatat
sebanyak 40,000 pohon gaharu yang tersebar pada sekitar 40 hektar luasan dan tersebar pada beberapa daerah Kandangan, Barabai,
dan Pulau Laut (Siran, 2011). Berdasarkan data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) (2016),
selama kurun waktu 2005-2014 Indonesia merupakan negara penghasil gaharu terbesar diikuti oleh Malaysia,
India, dan Uni Emirat Arab. The Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora (CITES) trade database
melaporkan dalam 10 tahun (2005-2014) (http://trade.cites.org/), Indonesia mengekspor sebanyak 6,760 m3 ton gubal gaharu.
Tingginyapermintaangubalgaharumenyebabkan meningkatnya permintaan tanaman penghasil gaharu. Sedangkan ketersediaan tanaman penghasil gaharu alami semakin langka akibat pemanenan yang intensif. Oleh sebab itu
upaya konservasi ex- situ dengan melakukan budidaya tanaman penghasil gaharu mulai dilakukan. Penanaman tanaman penghasil gaharu diluar habitatnya mendorong berbagai pihak untuk dapat menghasilkan gubal gaharu seperti dari habitat alaminya. Pada kegiatan budidaya gaharu, campur tangan manusia dalam mendorong terbentuknya gaharu menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan. Dewasa ini produsen mengembangkan teknologi berupa
produk inokulan untuk menghasilkan gubal gaharu. Hal ini dikarenakan infeksi inokulan mempunyai peranan penting dalam keberhasilan pembentukan gubal pada tanaman penghasil gaharu.
Cara kerja inokulan dalam menginfeksi tanaman penghasil gaharu meliputi (a) inokulasi dengan cara mekanis-fi (b) induksi kimiawi (c) Inokulasi biologi (Turjaman et
al. 2016). Jika ketiga metode tersebut
dibandingkan, sampai dengan saat ini inokulasi biologi menggunakan mikroba jamur paling banyak dilakukan dan
dipandang tinggi tingkat keberhasilannya. Pemberian inokulan mikroba
pada pohon penghasil gaharu dari beberapa st
terbukti dapat memunculkan mikroba penyebab munculnya gaharu pada batang tanaman penghasil gaharu. Inokulan yang berhasil menginfeksi ditunjukkan dengan adanya perubahan warna coklat kehitaman pada bagian yang diinokulasi (Faizal et
al. 2017). Manfaat inokulan yang memungkinkan petani mendapatkan gubal gaharu secara budidaya menjadikan inokulan banyak diburu oleh petani gaharu. Namun, inokulan yang beredar di
pasaran belum ada baku mutu yang tepat serta tidak ada jaminan keberhasilannya. Hal
tersebut dapat berpotensi menimbulkan kerugian bagi petani gaharu. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, satu-satunya produk inokulan gaharu yang sudah dipatenkan formulanya adalah inokulan gaharu serbuk yang diproduksi oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka Tengah yakni menggunakan Acremonium sp. (Saleh et al., 2010). Tulisan ini
disusun guna memberikan informasi terkait beberapa inokulan yang dijumpai di wilayah Kalimantan Selatan yang meliputi harga serta mikroba dominan penyusunnya. Dengan adanya tulisan ini diharapkan petani lebih berhati hati dalam memilih produk inokulan yang digunakan dalam rangka budidaya tanaman penghasil gaharu.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Pengambilan Data
Penelitian
dilakukan pada Juni-November 2015. Pengambilan informasi dilakukan di beberapa wilayah di Kalimantan Selatan yang terdapat
lokasi penanaman tanaman penghasil gaharu. Kegiatan isolasi cendawan yang terdapat pada produk inokulan dilakukan di
laboratorium mikrobiologi Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Pengumpulan Inokulan
Produk inokulan
diperoleh berdasarkan informasi petani gaharu
di wilayah
Kalimantan
Selatan dan dibeli melalui
pemasok (Tabel 1). Informasi tambahan terkait
inokulan diperoleh dengan melakukan wawancara, menggali
informasi melalui leaflet produk dan situs web produk
inokulan.
Tabel 1. Sumber informasi inokulan gaharu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tampilan dan Kemasan Produk
Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa petani gaharu di
beberapa wilayah Kalimantan Selatan, diperoleh informasi bahwa
terdapat lima
Kode Inokulan
Sumber Informasi Tempat Pembelian
produk inokulan yang sering digunakan oleh petani.
Lima produk inokulan tersebut berupa
empat
A
Petani gaharu di
beberapa wilayah Kalimantan selatan
Lansung melalui
produsen di Bogor Daring
inokulan cair, st bambu, dan kapsul. Selain bentuk
dan
kemasan yang
bervariasi, harga serta
cara
B
Petani dan situs web Daring
C
Petani dan situs web Langsung melalui
kelompok tani
penggunaan inokulan ini juga bervariasi. Deskripsi inokulan yang diperoleh
dicantumkan pada Tabel
D
Petani gaharu kecamatan karang intan Kab. Banjar Kalimantan Selatan
E Petani Gaharu daerah kec. Batu Benawa kab. Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan
Lansung melalui produsen di Kalimantan Selatan
Daring
2. Dari kelima inokulan yang diperoleh, antara satu inokulan dengan yang lain memiliki perbedaan kecuali pada produk inokulan A dan D. Kedua inokulan tersebut sama-sama dikemas dalam botol HDPE (High Density Polyethylene)
putih ukuran 1000 ml
serta memiliki warna cairan inokulan yang sama.
Isolasi Cendawan pembentuk
inokulan
Sampel diambil langsung
dari inokulan gaharu
Tabel 2. Deskripsi Inokulan
yang akan
diuji. Sampel berupa inokulan
cair diteteskan langsung menggunakan pipet tetes
Kode Inokulan
Deskipsi
Bentuk Kemasan Produk
Bentuk Inokulan Lain-lain
steril ke dalam cawan petri yang berisi media. Sedangkan sampel yang berupa inokulan padat dipotong dan diletakkan ke
dalam media. Menurut Waluyo (2010) media yang digunakan
untuk isolasi cendawan adalah Potato Dextrose
Agar (PDA). Selanjutnya,sampel tersebut
diinkubasi pada suhu ruangan. Lama inkubasi
tergantung dari perkembangan pertumbuhan cendawan dari masing-masing sampel.
Setelah diinkubasi, koloni cendawan yang tumbuh ditumbuhkan lagi pada media baru sehingga
diperoleh isolat tunggal (single culture).
A
Botol HDPE Putih
kemasan 1000 ml
B
Botol model jerigen 1000 ml
C
Kemasan Kotak, perkotak berisi kotak kecil berisi kapsul gaharu
D
Botol HDPE Putih
kemasan 1000 ml
E Plastik bening, dengan isi stik bambu100
buah per kemasan
Cairan berwarna
coklat
Cairan berwarna coklat pekat kehitaman
Kapsul gaharu berwarna hitam (d = 1,5 cm; p= 6 cm; berat 10 gram)
Cairan coklat
Stik bambu dengan
ujung stik kecoklatan (d= 0,5 cm; p= 20 cm; berat
5,5 g)
-
Berbau Tajam
-
Semakin lama ujung kehitaman semakin menyebar di stik bambu
Identifikasi
Isolat tunggal cendawan
diidentifikasi dengan molekuler.
Identifikasi molekuler dilakukan
di Institut Pertanian Bogor Culture Collection (IPBCC) Bogor. Isolat yang diidentifikasi merupakan isolat yang paling
dominan muncul pada saat proses isolasi.
Keterangan
:d = diameter,
p = panjang
Gambar 1. Produk Inokulan yang digunakan oleh beberapa petani gaharu di Kalimantan Selatan (abjad merupakan kode inokulan)
Sampai dengan
saat ini, belum ada Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait produk inokulan gaharu. Oleh karena itu, dalam membandingkan kemasan
produk inokulan gaharu, menggunakan acuan Peraturan Menteri
Pertanian no. 70/ Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk
Organik, Pupuk Hayati
dan Pembenah Tanah. Penggunaan peraturan ini berdasakan pertimbangan bahwa beberapa produk pupuk organik terbuat dari mikroba. Berdasarkan peraturan tersebut,
terdapat hal-hal yang harus dipenuhi dalam kemasan
produk. Tabel di
bawah ini menunjukkan perbandingan komponen dalam kemasan
lima produk inokulan yang diperoleh.
Tabel 3. Perbandingan Kemasan
Produk Gaharu mengacu
pada standar Peraturan Menteri Pertanian
no. 70/Permentan/ SR.140/10/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah
Produk Inokulan
|
Namadagang Nomor
pendaftaran Isi atau berat bersih Masa edar
Nama dan alamat Produsen Importir Tanggal produksi
Petunjuk penggunaan
Bahan aktif dan tujuan Penggunaan
Keterangan
:Ö�
= Ada X =tidak ada
Diitinjau dari kemasan dan tampilan
produk, merek gaharu C memiliki kemasan yang paling baik dibandingkan dengan yang lain karena
telah mencantumkan merek dagang serta petunjuk penggunaan pada kemasannya. Adapaun pada keempat produk lain, tidak mencantumkan petunjuk pada kemasan, tetapi melampirkan leaflet pada saat pembelian.
Namun, dari kelima produk tersebut,
hanya produk inokulan A saja yang mencantumkan tanggal kadaluarsa serta petunjuk
penyimpanan. Padahal tanggal kadaluarsa merupakan hal yang penting untuk produk berbasis mikroba
karena berkaitan dengan keefektifan mikroba
yang terkandaung serta virulensi
mikroba. Sebagai salah satu contoh, Beauveria bassiana
(Bals.) Vuill, yang merupakan salah satu jenis
entomopatogen yang banyak
digunakan sebagai biokontrol akan efektif jika disimpan maksimal 105 hari penyimpanan. Lebih jauh lagi, adanya suhu yang tepat akan membuat suatu mikroba terjaga viabilitasnya (Yuliantoro 2006).
Harga
Harga lima produk inokulan yang diperoleh berkisar Rp 150,000,- hingga Rp
600,000,-. Selain harga produk inokulan, juga dilakukan analisis biaya yang
diperlukan untuk pembelian inokulan perpohonnya (Tabel 4). Jika dibandingkan, produk A merupakan produk dengan harga inokulan paling murah, sedangkan
yang termahal adala produk C yang memiliki bentuk inokulan kapsul (Gambar 2). Jika ditinjau
dari jumlah biaya yang harus
dikeluarkan perpohon untuk inokulasi gaharu, inokulan A
paling terjangkau karena
hanya diperlukan Rp 150,000,- untuk membeli inokulan perpohon. Artinya
satu kemasan inokulan bisa digunakan untuk dua pohon. Sebaliknya, dibutuhkan sebanyak
tiga kemasan inokulan C
untuk satu pohon, sehingga biaya yang dikeluarkan adalah Rp 1,800,000,- per pohonnya.
Tabel 4. Kebutuhan Jumlah Inokulan yang digunakan per pohon gaharu
Produk Inokulan
A B C D E
Kebutuhan inokulan/pohon
1/2
1/2 3
1/2 1
Gambar 2. Perbandingan Harga Produk Inokulan Gaharu
Biaya inokulan
menjadi komponen yang cukup besar bagi petani gaharu. Biaya tersebut masih ditambah dengan
biaya alat
dan tenaga
kerja pada saat inokulasi,biaya-biaya penanaman dan pemeliharaan tegakan tanaman penghasil gaharu. (Subiakto et al. 2011) menyebutkan, dalam budidaya gaharu biaya perhektar adalah berkisar Rp12,452,000 (jarak tanam 3 x 3 m; 1,100 pohon/
hektar), 8,6450,500 (jarak tanam 4 x 4 m; 625 pohon/hektar) yang meliputi
biaya bibit, ajir, biaya pembersihan dan pengajiran, pembuatan lubang tanam, pupuk dan aplikasinya. Dengan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk inokulasi dan juga pemeliharaan tegakan,
maka petani gaharu
pasti mengharapkan hasil panen yang besar dengan kualitas yang baik. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan petani dalam memilih produk
inokulan.
Hasil Identifikasi Mikroba Pembentuk
Inokulan Gaharu
Berdasarkan
hasil identifikasi diketahui
jenis- jenis cendawan
yang menyusun produk inokulan gaharu (Tabel
5). Isolat tunggal dari masing-masing
cendawan dominan pembentuk inokulan gaharu ditampilkan pada Gambar 3. Jenis-jenis cendawan ini merupakan jenis dominan
yang ada di inokulan
yang diisolasi. Inokulan dominan mengandung cendawan jenis Fusarium solani. Fusarium
solani merupakan jenis cendawan yang paling
banyak dirujuk sebagai pembentuk gaharu pada beberapa jenis pohon penghasil gaharu dari berbagai
provinsi. Wilarso et al., (2010) berhasil mengisolasi Fusarium solani
pada tanaman
Aquilaria spp. di berbagai
daerah. Pada produk lain, jenis yang diinokulasi adalah Aspergillus flavus, Fomitopsis meliae, Aspergillus niger, dan Penicillium sp. Jenis-jenis ini tak banyak dirujuk sebagai cendawan pembentuk gaharu. Namun, jenis seperti Aspergillus sp, Penicillum sp.
disebutkan oleh (Nagajothi et al.,
2016) dalam penelitiannya sebagai pembentuk gaharu. Jamur Aspergillus sp. ditemukan menginfeksi secara alami pada tanaman penghasil gaharu / Aquilaria sp. (Anon, 1998 dalam Akter, 2013).
Tabel 5. Hasil identifikasi cendawan
dominan penyusun produk
inokulan gaharu
Produk Inokulan
A B C D E
Nama Cendawan Penyusun
Fusarium solani Aspergillus flavus Fomitopsis meliae Aspergillus niger Penicillium sp.
Aspergillus flavus
merupakan jenis cendawan yang diisolasi dari produk B, merupakan cendawan penghasil aflatoxin yang berbahaya bagi manusia dan menyebabkan penyakit pada beberapa komoditas pertanian (Made
& Oka, 2012). Aspergillus niger yang
diisolasi dari produk D merupakan jenis cendawan yang banyak
dimanfaatkan dalam bioteknologi antara lain sebagai penghasil enzim citric acid. Akan tetapi, Aspergillus niger juga bisa menyebabkan beberapa penyakit seperti
infeksi pernafasan, infeks telinga dll (Schustur et al., 2002). Berdasarkan hasil ini, petani gaharu diharapkan lebih hati-hati dalam memilih bahan penyusun inokulan.
Gambar 1. Isolat Tunggal cendawan
pembentuk inokulan gaharu isolate (a) Fusarium solani, (b) Aspergillus flavus (c) Fomitopsis meliae (d) Aspergillus niger (e) Penicullum sp.
Dari kelima jenis cendawan yang berhasil diidentifi Fusarium solani merupakan jenis cendawan yang paling banyak dirujuk sebagai cendawan penghasil gaharu. Di Indonesia, induksi gaharu dengan menggunakan cendawan terutama Fusarium sp. telah diteliti oleh Badan Litbang dan
Inovasi sejak awal tahun 2000, dengan jenis utama isolat adalah Fusarium sp yang diisolasi dari berbagai pohon gaharu Aquilaria sp. dan
Gyrinops sp. Prosedur inokulasi yang digunakan yakni dengan melakukan pelubangan sekitar 3 mm dengan dosis inokulan adalah 1 cc dan lubang dibiarkan tidak tertutup (Santoso & Turjaman
2011). Selain Fusarium solani, F. tricinctum (corda) Sacc, F. sambucinum
Fuckel, dan F. moniliformae disebut juga sebagai cendawan pengasil gaharu (Budi et
al. 2010).
Penggunaan Fusarium sp. sebagai bahan pembentuk gaharu telah banyak dilakukan penelitian. Lebih jauh lagi, pada penggunaan Fusarium
sp. telah terdapat beberapa
standar dalam pelaksananan inokulasi yakni: panduan tentang mata bor yang digunakan, dosis inokulan cair yang digunakan, informasi lama infeksi dan lain-lain. Pada jenis inokulan cair, hal ini belum diketahui lebih luas sehingga lebih sulit dijelaskan secara ilmiah. Namun, bukan berarti inokulan selain Fusarium
ini memberikan hasil
negatif,
Keefektifan Inokulan Gaharu
Pada penelitian kali ini, keefektifan masing- masing produk inokulan gaharu dalam membentuk gubal tidak
diamati secara langsung. Namun, bahasan dilakukan melalui penelusuran referensi. Berdasarkan (Santoso & Turjaman, 2011),
inokulasi pohon gaharu Aquilaria
microcarpa dengan isolat Fusarium
sp. yang diperoleh
dari berbagai daerah di
Indonesia menunjukkan rata-rata
infeksi sebesar 1,857-4,133 cm pada umur dua bulan setelah inokulasi. Referensi ini bisa digunakan oleh petani pengguna produk inokulan A
yang merupakan produk inokulan dengan mikroba penyusun Fusarium
solani. Untuk jenis inokulan yang lain, keefektifan cendawannya belum ditelti secara rinci, karena referensi yang ada hanya menyatakan jenis- jenis isolat tersebut merupakan pembentuk gubal gaharu (Nagajothi et al., 2016).
Tantangan Produksi Inokulan
Gaharu
Dimasa yang akan datang permintaan gaharu diduga akan semakin banyak. Oleh karena itu permintaan produk inokulan juga semakin meningkat,
mengingat ketersediaan gaharu alam yang mulai
menurun. Bisnis produksi inokulan gaharu mempunyai kesempatan besar untuk berinovasi dan sangat menjanjikan. Sampai dengan saat ini, standardisasi gubal gaharu sudah tersedia (SNI 7631: 2011), tetapi standardisasi inokulan
belum tersedia. Perkembangan bioteknologi menjadi
salah satu keuntungan dalam usaha ini. Pengusaha, peneliti dan lembaga riset, serta pemerintah harus bersinergi untuk membuat inokulan gaharu agar semakin meningkat mutunya dan lebih berkualitas sehingga petani dapat merasakan manfaatnya. Belum adanya SNI terkait
produk inokulan gaharu menjadikan produsen leluasa berbuat curang dalam membuat produk dengan mutu rendah, berbalut promosi yang bombastis, tidak ada jaminan
hasil, dan pada akhirnya
merugikan petani.
Menurut Turjaman (2016) tidak adanya kebijakan hilirisasi riset serta tidak adanya kerjasama yang baik antara sektor penelitian dan pengusaha menyebabkan pengembangan teknologi inokulan gaharu di Indonesia sulit untuk berkembang. Sebagai contoh kasus, pada produk inokulan gaharu yang dikembangkan oleh BLI (Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi) sampai saat ini tidak bisa berkembang. Hal
ini dikarenakan tidak adanya invest atau lembaga bisnis khusus yang mengelola penjualan ataupun promosi produk.
Oleh karena itu diharapkan dengan adanya sinergi antara sektor
usaha, riset dan pemerintah, Indonesia memiliki inokulan
gaharu berkualitas yang bisa dimanfaatan masyarakat. Dengan demikian Indonesia bisa menjadi salah satu negara pemasok gubal gaharu yang berkualitas dan bisa menjadi sumber pendapatan negara. Selain itu, masyarakat diharapkan lebih teliti dan jeli dalam menggunakan produk inokulan yang ada di pasaran sehingga produsen-produsen yang tidak bertanggung jawab tidak memperoleh keuntungan dari menjual produk asal-asalan yang berkualitas rendah.
SIMPULAN
DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan
penelitian ini diketahui bahwa produk inokulan gaharu yang digunakan oleh petani di Kalimantan Selatan
bervariasi yaitu cair dan padat. Berdasarkan kemasannya, belum ada produk yang sesuai dengan
standar pengemasan. Hasil analisis
jenis cendawan penyusun,
produk inokulan A
(cair) dari Fusarium solani, merupakan produk inokulan yang
paling banyak diulas dan sudah terbukti
secara ilmiah.
Sedangkan cendawan dari produk inokulan lain belum banyak diulas sebagai cendawan
pembentuk gubal gaharu.
Saran
Diperlukan
standardisasi produk inokulan gaharu yang meliputi patokan harga, kadaluarsa, tingkat keberhasialn dan jenis cendawan penyusun yang berada di pasaran sehingga
tidak merugikan petani gaharu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Andi, Gravi Margasetha, dan
Edi
Suryanto
yang membantu kegiatan laboratorium selama pelaksanaan penelitian ini. Penelitian ini didanai oleh DIPA 2015
DAFTAR PUSTAKA
Akter, S., M.T, Islam, M. Zulkefeli, S.I Khan. 2013. Agarwood Production-A Multidisciplinary Field To Be Explored In Bangladesh. International Journal of Pharmaceutical and Life Sciences vol 2, Issue
1.
Budi, S.W., Santoso,
E. & Wahyudi, A., 2010. Identifikasi Jenis-jenis Fungi yang Potensial
terhadap
Pembentukan Gaharu dari
Batang Aquilaria spp . , 1(1), pp.1–5.
Faizal, A. et al., 2017. Formation of
agarwood from Aquilaria
malaccensis in
response to inoculation of local strains
of Fusarium solani. Trees,
31(1), pp.189–197.
Made, D.A.N. & Oka, A.D.I.,
2012. Formulasi
Inokulan
Jamur Pembentuk Gubal Gaharu pada Tanaman Ketimunan ( Gyrinops versteegii ) 1. , 2(2), pp.139–144.
Nagajothi, M.S. et al., 2016. Fungal Microbes Associated with Agarwood
Formation. American Journal of Plant Sciences,
(7),
pp.1445–1452.
Saleh, I., Akbarini,
D. & Wahyudi, T, penemu; Dinas Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Bangka Tengah. 2010 Oktober
14. Formulasi Inokulan Gaharu Serbuk.
Paten Indonesia ID P0030783 B
Santoso, E. & Turjaman, M., 2011. Standardization and Effectiveness of Bioinduction on Gaharu
Development and Its
Quality. In M. Turjaman, ed. Proceeding of Gaharu Workshop
Bioinduction Techmology
for Sustainable Development and Conservation of Gaharu. Bogor: Indonesia Work Programme for
2011 ITTO, pp. 19–40.
Schustur, E. et al., 2002. On the safety of Aspergillus
niger – a review. Appl Microbiol
Biotechnol, 59,
pp.426–435.
Siran, S.A., 2011. The Developing of Database Regarding The Potency of Gaharu-Yielding Trees in Indonesia. In Proceeding of Gaharu Workshop
Bioinduction Techmology
for Sustainable Development and Conservation of Gaharu. pp. 1–8.
Soehartono, T. & Newton, A.C., 2002. The Gaharu Trade In Indonesia: Is It Sustainable? In Economic
Botany. pp. 271–284.
Subiakto, A., Santoso, E. & Turjaman, M., 2011. financial analysis
on gaharu plantation.pdf. In M. Turjaman,
ed. Proceeding of Gaharu Workshop
Bioinduction Techmology
for Sustainable Development and Conservation of Gaharu. Bogor Indonesia: Indonesia
Work Programme for 2011 ITTO, pp. 59–65.
Turjaman, M., Hidayat,
A. & Erdy Santoso, 2016. Development of Agarwood Induction Technology Using Endophytic Fungi. In R.
Muhamed, ed. Agarwood: Science
Behind The Fragrance. Singapore: Springer Science Business Media, pp. 57–72.
Waluyo, L.
2010. Teknik dan Metode Dasar dalam Mikrobiologi. Malang:
UMM Press
Yuliantoro, S.K., 2006. Beauveria
bassiana ( Bals .) Vuill . Dalam Beberapa Pembawa Effect of Storage Temperature on Beauveria bassiana ( Bals .) Vuill . Viability on Several Carriers.
Pelita Perkebunan, 22(1), pp.40–57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar