Gaharu
merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang cukup dapat
diandalkan, khususnya apabila ditinjau dari harganya yang sangat istimewa bila
dibandingkan dengan HHBK lainnya. Nilai jual yang tinggi dari gaharu ini
mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya. Sebagai contoh, pada awal tahun
2001, di Kalimantan Timur tepatnya di Pujangan (Kayan) harga gaharu dapat
mencapai Rp. 600.000,- per kilogram . Pada tingkat eceran di kota-kota besar
harga ini tentunya akan semakin tinggi pula. Kontribusi gaharu terhadap
perolehan devisa juga menunjukkan grafik yang terus meningkat. Menurut Balai
Pusat Statistik, rata-rata nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun 1990-1998
adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US $ 2.2 juta.
Gaharu
dikenal karena memiliki aroma yang khas dan dapat digunakan untuk berbagai
keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio (pelengkap sembahyang pemeluk
agama Budha & Kong Hu Cu), obat, dan sebagainya.
Masyarakat
awam seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan pohon gaharu. Menurut SNI
01-5009.1-1999 gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk
dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal
dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan
telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara
alami atau buatan pada suatu jenis pohon, yang pada umumnya terjadi pada pohon
Aquilaria sp. (Nama daerah: Karas, Alim, Garu dan lain-lain).
Gaharu
diperdagangkan dalam berbagai bentuk, yaitu berupa bongkahan, chips dan serbuk.
Bentuk bongkahan dapat berupa patung atau bentuk unik (natural sculpture) atau
tanpa bentuk sama sekali. Demikian pula warnanya, bervariasi mulai dari
mendekati putih sampai coklat tua atau mendekati kehitaman, tergantung kadar
damar wangi yang dikandungnya dan dengan sendirinya akan semakin wangi atau
kuat aroma yang yang ditimbulkannya.
Umumnya
warna gaharu inilah yang dijadikan dasar dalam penentuan kualitas gaharu.
Semakin hitam/pekat warnanya, semakin tinggi kandungan damar wanginya, dan akan
semakin tinggi pula nilai jualnya. Umumnya semakin hitam/ pekat warna gaharu,
menunjukkan semakin tinggi proses infeksinya, dan semakin kuat aroma yang ditimbulkannya.
Namun pedoman warna dan aroma ini tidaklah mutlak, karena dalam kenyataannya,
warna ini dapat diakali dengan penerapan pewarna, sedangkan aroma dapat diakali
dengan mencelupkan gaharu ke dalam destilat gaharu. Sehingga hanya
pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman dan sudah lama berkecimpung dalam
perdagangan gaharu sajalah yang dapat membedakan antara gaharu yang tinggi
kualitasnya dengan yang lebih rendah kualitanya (kemedangan).
Di
Indonesia, gaharu yang diperdagangkan secara nasional masih dalam bentuk
bongkahan, chips ataupun serbuk gaharu. Masyarakat belum tertarik untuk
mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk olahan
seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain, yang tentunya akan
lebih meningkatkan nilai jualnya.
Gaharu
dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan
memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk
dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar
di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand,
Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia.
Enam
diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A.
beccariana, A. cumingiana dan A. filarial). Keenam jenis tersebut terdapat
hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari
Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan
kepulauan Solomon serta kepulauan Nicobar. Sembilan spisies diantaranya
terdapat di Indonesia yaitu: di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Irian
Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies. Enam diantaranya tersebar di
Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di Srilanka.
Penyebab
timbulnya infeksi (yang menghasilkan gaharu) pada pohon penghasil gaharu,
hingga saat ini masih terus diamati. Namun, para peneliti menduga bahwa ada 3
elemen penyebab proses infeksi pada pohon penghasil gaharu, yaitu (1) infeksi
karena fungi, (2) perlukaan dan (3) proses non-phatology. Dalam grup yang
pertama, Santoso (1996) menyatakan telah berhasil mengisolasi beberapa fungi
dari pohon Aquilaria spp. yang terinfeksi yaitu: Fusarium oxyporus, F. bulbigenium
dan F. laseritium. Pada kasus 2 dan 3 muncul hipotesis yang menyatakan bahwa
perlukaan pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang menghasilkan
gaharu. Tetapi hipotesis inipun masih memerlukan pembuktian.
Kualita
Gaharu Indonesia secara nasional telah ditetapkan dalam SNI 01-5009.1-1999
Gaharu. Dalam SNI tersebut kualita gaharu dibagi dalam 13 kelas kualitas yang
terdiri dari:
Gubal gaharu
yang terbagi dalam 3 kelas kualita (Mutu Utama = yang setara dengan mutu super;
mutu Pertama = setara dengan mutu AB; dan mutu Kedua = setara dengan mutu Sabah
super),
Kemedangan
yang terbagi dalam 7 kelas kualita (mulai dari mutu Pertama = setara dengan
mutu TGA/TK1 sampai dengan mutu Ketujuh = setara dengan mutu M3), dan
Abu gaharu
yang terbagi dalam 3 kelas kualita (mutu Utama, Pertama dan Kedua).
Pada
kenyataannya dalam perdagangan gaharu, pembagian kualitas gaharu tidak seragam
antara daerah yang satu dengan yang lain, meskipun sudah ada SNI 01-5009.1-1999
Gaharu. Sebagai contoh, di Kalimantan Barat disepakati 9 jenis mutu yaitu dari
kualitas Super A (terbaik) sampai dengan mutu kemedangan kropos (terburuk).
Sedangkan di Kalimantan Timur dan Riau, para pebisnis gaharu menyepakati 8
jenis mutu, mulai dari mutu super A (terbaik) sampai dengan mutu kemedangan
(terburuk). Penetapan standar di lapangan yang tidak seragam tersebut
dimungkingkan karena keberadaan SNI Gaharu sejauh ini belum banyak diketahui
dan dimanfaatkan oleh para pedagang maupun pengumpul. Disamping itu,
sebagaimana SNI-SNI hasil hutan lainnya, penerapan SNI Gaharu masih bersifat
sukarela (voluntary), dimana tidak ada kewajiban untuk memberlakukannya.
Pemanfaatan
gaharu dari alam secara tradisional di Indonesia (Kalimantan dan Sumatera),
akan menjamin kelestarian pohon induknya, yaitu hanya mengambil bagian pohon
yang ada gaharunya saja tanpa harus menebang pohonnya. Pemanenan Gaharu
sebaiknya dari pohon-pohon penghasil gaharu yang mempunyai diameter di atas 20
cm. Namun, sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar dan nilai jual dari
gaharu, masyarakat lokal telah mendapat pesaing dari pebisnis gaharu dari
tempat lain, sehingga mereka berlomba-lomba untuk berburu gaharu. Akibatnya,
pemanfaatan gaharu secara tradisional yang mengacu pada prinsip kelestarian
tidak dapat dipertahankan lagi. Hal ini berdampak, semakin sedikitnya
pohon-pohon induk gaharu. Bahkan di beberapa tempat, gaharu telah dinyatakan jarang/hampir
punah. Hal ini disebabkan oleh karena penduduk tidak lagi hanya menoreh bagian
pohon yang ada gaharunya, tetapi langsung menebang pohonnya. Diameter pohon
yang ditebangpun menurun menjadi dibawah 20 cm, dan tentu saja kualita gaharu
yang diperolehpun tidak dapat optimal.
Akibat
semakin langkanya tegakan pohon penghasil gaharu, dalam COP (Conference of
Parties) ke – 9 CITES (Convention on the International Trade in Endangered
Species of Wild Flora and Fauna) di Fort Lauderdale, Florida, USA (7 – 18
Nopember 1994) para peserta konferensi atas usulan India menerima proposal
pendaftaran salah satu spesies penghasil gaharu (A. malaccensis) dalam CITES
Appendix II. Dengan demikian dalam waktu 90 hari sejak penerimaan/penetapan
proposal tersebut, perdagangan spesies tersebut harus dilakukan dengan prosedur
CITES.
Namun
masalahnya, hingga saat ini gaharu yang diperdagangkan dalam bentuk bongkahan,
chips, serbuk, destilat gaharu serta produk akhir seperti chopstick, pensil,
parfum, dan lain-lain tidak dapat/sulit untuk dapat dibuktikan apakah gaharu
tersebut dihasilkan oleh jenis A. malaccensis ataukah dari spesies lain. Untuk
mengatasi masalah ini, akhirnya ditempuh kebijaksanaan bahwa baik negara
pengekspor maupun penerima tetap menerapkan prosedur CITES terhadap setiap
produk gaharu, terlepas apakah produk tersebut berasal dari spesies A.
malaccensis ataukah bukan. Hal ini dikarenakan sebagian besar populasi spesies
penghasil gaharu di alam sudah berada pada posisi terancam punah. Dengan
demikian diharapkan populasi spesies penghasil gaharu dapat diselamatkan.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar